Nama Marga Jerman Dan Artinya

Nama Marga Jerman Dan Artinya

Nama Marga Jerman Dan Artinya – Budi Dipojuwono, Joko Harjono, Usman Admadjaja, PK Ojong, Putera Sampoerna, Sudono Salim, Prajogo Pangestu, Panji Vichaksana. Sekilas nama ini terdengar seperti nama “tanah air” Indonesia. Wabil Budi memang istimewa, yang sepertinya selalu menjadi nama “wajib” dalam buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Namun jika ditelusuri lebih jauh, delapan nama di atas memang berasal dari Cina.

Nama asli Budi Dipojuwono adalah Lee Po Jo. Orang yang menjadi anggota DPR dari tahun 1956 hingga 1959 ini awalnya bernama Joe dan disingkat Lee. Julukan tersebut kemudian diasimilasi menjadi “Juwono” dan dia mengambil nama depan Budi.

Nama Marga Jerman Dan Artinya

Demikian Joko Harsono. Namanya merupakan varian dari Djiauw Pok Kie. Nama Joko yang kini banyak dilafalkan Joko merupakan gabungan dari “Djiauw” dan “Kie”. Dia adalah seorang penyelundup senjata pada tahun 1946 dan dianugerahi bintang oleh presiden pertama Indonesia, Soekarno.

Awet Muda Dan Tetap Ganteng, Ini 10 Foto Transformasi Ari Wibowo

Sedangkan Usman Admadjaja, pendiri Bank Danamon, memiliki Djauw Jaw Wu. Nama Usman yang dalam hal ini merujuk pada Usman Jannatin bahkan didaftarkan sebagai nama kapal perang Indonesia KRI “Usman Harun” – nama Harun juga berasal dari Harun Tahir. Sedangkan “Jaja” biasanya digunakan sebagai nama orang Sunda dan terkadang diartikan sebagai pahlawan. Utsman menggunakan nama “Jajah” untuk membedakan dirinya dari suku Jow tempatnya berasal.

Panji Vichaksana yang pernah menjadi Wakil Presiden Yayasan Trisakti juga merupakan pergantian nama dari (Fan) Wang Xin. Sedangkan nama utama Prajogo Pangestu (Phang) adalah Djoen Phen. Ia adalah penguasa negara Sumatera dan Sulawesi. Putera Sampoerna (Liem Tian Po), Sudono Salim (Liem Sio Liong) dan PK Ojong (Aujong Peng Koen) juga merupakan pengusaha terkenal dan sukses di Indonesia.

Nama Halim dan Salim yang sangat populer di Indonesia sebenarnya banyak digunakan oleh Peranakan Tionghoa-Indonesia untuk melanggengkan garis keturunan klan mereka. Tapi jangan salah mengira Ha(lim) Perdana Kusuma atau (Lim)bad sebagai keturunan Tionghoa-Indonesia. Saya belum menjadi bagian darinya.

Dalam kajian pola nama orang Tionghoa (2013) oleh Suharyo dari Universitas Diponegoro, ada beberapa hal lain yang menjadi perhatian orang Tionghoa dalam menamai dirinya, selain menarik nama Tionghoa yang dilewatkan dari nama Indonesia. Misalnya nama bulan atau hari besar keagamaan tertentu. Ada juga nama-nama yang mirip dengan raja-raja Kerajaan Indonesia masa lalu.

Pdf) Nama Marga Sebagai Identitas Budaya Masyarakat Etnis Arab: Studi Kasus Nama Nama Marga Di Surakarta

Nama Julia misalnya berasal dari Juli atau Natalia yang berasal dari Natal. Begitu pula yang memakai nama Wijaya, salah satu raja Kerajaan Majapahit. Ada juga yang hanya menggunakan nama barat tanpa hijab agar tidak tertukar dengan Tionghoa. Saya yang juga berasal dari China pernah punya teman SD bernama Jennifer dan hanya kata itu.

Tidak Sukarela Mengganti Nama Tionghoa Menjadi Nama Indonesia Sama sekali bukan berarti Tionghoa Peranakan sengaja memberi kesan bahwa mereka adalah orang Indonesia “asli” untuk mencari pekerjaan atau berbaur dengan orang Indonesia. Itu juga bukan karena pasukan mata-mata untuk negara asalnya, China.

Dalam penelitiannya, Suharyo juga menyimpulkan bahwa orang Tionghoa antara lain meninggalkan nama aslinya karena khawatir dengan isu SARA dan adat istiadat pada masa Nowruz. Bahkan hingga saat ini, masih sedikit sekali nama asli Tionghoa yang tercetak di kartu tanda penduduk (KTP).

“Kebiasaan baru” ini mengacu pada tahun 1965. Mereka yang tidak mengubah namanya biasanya diasosiasikan dengan PKI atau Komunis, sebagaimana mereka berafiliasi dengan Partai Komunis China (PKC) di China.

Nama Nama Bayi Perempuan Lengkap Dan Artinya Dalam Islam Yang Cantik 2023

Bahkan, hubungan diplomatik Indonesia-China putus setelah peristiwa Gerakan 30 September yang terkait dengan kehadiran PKI di Indonesia. Peranakan Tionghoa kemudian dipaksa untuk mengubah nama Tionghoa mereka berdasarkan nasionalisme yang terbukti.

Hal ini dipertegas setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres no. 240 Tahun 1967 tentang Kebijakan Dasar Terhadap Warga Negara Asing. Dalam aturan ini, warga negara asing diimbau untuk mengganti nama belakangnya.

Sejak itu muncul nama-nama Tionghoa Peranakan, misalnya Setiawijaya. Kata “setia” selain mengandung arti harapan agar tidak mengkhianati orang tuanya, juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah nasionalisme: kesetiaan kepada negara.

Albertus Budi Susanto, seorang antropolog dan direktur Realino Research Institute di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dalam bukunya Membaca Postkolonialisme (di) Indonesia (2008) mengungkapkan salah satu pemikiran orang Indonesia terhadap China.

Bahasa Arabnya Pelajar

Menurut Susanto, sebenarnya masyarakat Indonesia tidak menolak kehadiran China di Indonesia, melainkan meminta percampuran yang baik. Mentalitas inilah yang secara langsung atau tidak langsung mencoba membenarkan rasisme terhadap masyarakat Tionghoa.

Budi menulis tentang salah satu pandangan orang Indonesia terhadap pendatang: “Orang Tionghoa harus mencerminkan intoleransi mereka dengan kesadaran diri.”

Selain faktor keamanan, memiliki nama ini memudahkan kehidupan anak cucu mereka di kemudian hari. Buku Tionghoa di Cakar SBKRI (2008) karya Wahyu Effendi dkk menceritakan bagaimana Roni, warga Tionghoa, kesulitan mendapatkan akta nikah karena ibunya bernama Tionghoa.

Dia harus menunjukkan bukti kewarganegaraan Indonesia untuk menangani kasus kelahiran, pernikahan, dan akta kematian. Aturan ini sebenarnya sudah dicabut pada tahun 2006. Hanya saja, tidak semua staf administrasi mengikutinya.

Rumah Marga Tjhia Singkawang Berarsitektur Tiongkok, Wisata Murah Di Kawasan Tradisional Kota Amoy

Petugas meminta bukti kewarganegaraan ibu mereka, Minarsih, yang sebelumnya bernama Sien Mo. Roni yang mengaku KBRI tak lagi wajib mengurus akta nikah diganggu petugas.

Memang, ada beberapa tokoh etnis Tionghoa yang berani tidak mengubah identitasnya dan sukses, seperti Yam Thiam Hien atau Soe Hock Gie. Namun, tidak semua etnis Tionghoa memiliki keberanian dan keuletan.

Isu nama Tionghoa baru menjadi perdebatan besar pada masa pemerintahan Soeharto. Bahkan di bawah Presiden Sukarno, sebagaimana dicatat dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Bantuan Presiden Sukarno (1995) karya Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo, ia tak peduli dengan nama Tionghoa yang digunakan para loyalisnya.

Saat itu, Soekarno pun menawari Oei Tjoe Tat jabatan menteri. Soekarno diberhentikan saat ditanya soal urgensi mengganti nama Tionghoanya.

Gondang Mandailing: Selasa, 13 Juli 2010

“Benarkah? Osterling bengkok? Hormat? Apapun Kolonel Peters, Duwes Dekker dari John Lee dan dari Indonesia.”

(Apa? Anda orang oriental, bukan? Apakah Anda kehilangan rasa hormat terhadap ayah Anda yang memberi Anda nama itu? Meskipun bagi saya, Kolonel Peters, Duves Dekker atau John Lee lebih Indonesia.)

Kehilangan identitas Asimilasi paksa Sino-Indonesia di bawah Suharto bukan hanya soal nama. Dalam Ketetapan Sementara MPR (TAP MPRS) no. 32 Tahun 1966, pemerintah melarang penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa untuk media dan nama toko/perusahaan. Hanya ada satu media yang menerbitkan dalam bahasa Cina: Harian Indonesia.

Diskriminasi ini, menurut sosiolog Meli J Tan dari Universitas Indonesia dalam Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan (2008), memungkinkan pemberantasan budaya etnis Tionghoa di Indonesia.

Materi Biologi Sma Tentang Klasifikasi Sistem Buatan, Alami Dan Kunci Determinasi

Semua ketentuan ini diadopsi oleh pemerintah Suharto dengan dalih mempercepat proses perampasan untuk menyelesaikan apa yang disebut “masalah China”. Namun, jelas bahwa semua kebijakan tersebut bertujuan untuk menghilangkan etnis Tionghoa sebagai kelompok budaya dengan ciri khas,” kata Meli.

Selain itu, Soeharto juga mengeluarkan Inpres no. 14 Tahun 1967 tentang Agama dan Ritual Tionghoa. Pada dasarnya, kebebasan berkeyakinan dan tradisi Tionghoa yang berakar di negeri Tirai Bambu itu harus ditelaah, dikontrol dan dipraktikkan secara tertutup.

Sinolog Leo Suryadinata juga menulis dalam Chinese Ethnicity and Indonesian Nationalism: An Anthology 1965-2008 (2010) bahwa asimilasi paksa tidak akan berdampak positif. Satu-satunya cara untuk menerima mereka bukanlah dengan mempertahankan identitas mereka, tetapi dengan melepaskan karakteristik etnis Tionghoa mereka.

“Konsep bangsa Indonesia tidak pernah stabil, dan dalam situasi seperti ini diharapkan orang Tionghoa berasimilasi dengan penduduk asli,” tulis Leo.

Wahai Kaum Liberal, Jangan Terlalu Mengkhawatirkan Jerman

Akibat aturan tersebut, tulis profesor Universitas Indonesia Aimee Davis, Generasi X Tionghoa tidak lagi memahami budaya mereka sendiri. Tradisi mereka hanya dapat diselamatkan melalui festival keagamaan Buddha atau Konghucu, tetapi perlahan-lahan menghilang.

“Akibat pelarangan ini, kebanyakan orang Tionghoa yang lahir setelah 1966 hanya bisa berbicara, menulis, dan membaca bahasa Indonesia,” ujar Aimee dalam Chinese Indonesians in Search of Identity (2010).

Salah satu daerah yang masih melestarikan budaya Tionghoa adalah Singkawang. Menurut Aimee, keturunan Tionghoa beruntung di sana karena 40 persen penduduknya adalah Tionghoa. Namun, tidak semua orang bisa membaca atau menulis huruf Mandarin, meskipun mereka fasih berbahasa.

Lebih jauh lagi, asimilasi yang dipaksakan oleh pemerintah tidak benar-benar menyelesaikan masalah rasisme dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.

Referensi Untuk Semua

“Namun, mereka [China] dipandang ‘berbeda’ dari kebanyakan orang Indonesia,” kata Aimee. Mereka terus-menerus menyebutkan posisi mereka sebagai anggota kelompok tertindas di negeri ini.”

(2004) mengambil konteks kerusuhan Mei 1998. Salah satu dialognya menunjukkan pertanyaan besar yang bisa diajukan bangsa Tionghoa kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia lainnya yang terus melakukan diskriminasi.

“Kami diberitahu untuk tidak bergaul dengan mereka. Fakta bahwa kita tidak ingin ikut campur? Kami mengubah nama kami menjadi nama Indonesia. Di negara lain apa mereka mengubah nama belakang mereka agar sesuai dengan tempat lahir mereka? Coba deh, kakak kamu di Jerman ganti nama jadi Mayer atau Hitler atau apa? dikutip dari seorang tokoh bernama Hassan.

Pada masa reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur berusaha memberikan keadilan bagi etnis Tionghoa. Bukan perampasan melalui larangan dan paksaan, melainkan kebebasan melalui pencabutan Perpres No. 14/1967 dan TAP MPRS 32/1966.

Tak Disangka Pernah Debut Jadi Member Grup Idol K Pop, Inilah Arti Nama Han Ji Eun, Mantan Kekasih Lee Dong Wook Di Bad And Crazy

Setiap kali orang bertanya kepada saya, “Siapa nama Cina Anda?” Ketika saya lahir pada tahun 1994, orang tua saya bahkan tidak memikirkannya, apalagi memberikannya kepada saya. Bagi mereka, kemampuan berasimilasi sudah menjadi keuntungan.

Di kelas 3, guru bahasa Mandarin saya menamai saya Ming Guang. Mereka mengatakan makna itu ringan. Tapi bagaimana pengaruhnya? Apakah Ming masih mengenaliku? Atau apakah saya benar-benar memiliki darah Dinasti Ming, salah satu dinasti terbesar di dunia?

Ketika orang tua saya menggunakan nama resmi Osman dan Yanni, sepertinya nama Cina tidak diperlukan. Dua nama

Marga orang jerman, quote bahasa jerman dan artinya, nama marga jepang dan artinya, bahasa jerman dan artinya, marga ambon dan artinya, marga tionghoa dan artinya, nama marga jerman, kata kata dalam bahasa jerman dan artinya, kamus bahasa jerman dan artinya, nama marga china dan artinya, marga china dan artinya, nama marga korea dan artinya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like